Tuesday, May 22, 2007

Kebersihan Hati

Pembersihan Jiwa
(Tazkiyatunnafs)

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan (yuzakkiikum, atau men-tazkiyah) kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni'mat)-Ku.” (Surah:2. Baqarah: 151-152)

"Orang jenius adalah yang mampu mengendalikan jiwa-nya dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan masa setelah kematian {orientasi ke depan]. Sementara orang bodoh adalah yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan atas pemberian Allah." (HR Thirmidzi).

"Siapa pun bisa marah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang bijak, bukanlah hal mudah." (Aristoteles).

Segala puji dan syukur bagi Allah Pencipta manusia dengan hati nuraninya yang demikian mempesona. Shalawat dan salam semoga tercurah senantiasa kepada qudwah hasanah kita tercinta pemilik hati termulia dan jiwa teragung, juga untuk keluarganya, para shahabat dan orang-orang yang berjiwa setia kepadanya.

Watak perjalanan hidup yang panjang dan kadang menjenuhkan memang menuntut persiapan matang. Khususnya kematangan jiwa, kedewasaan berpikir dan ketepatan sikap. Namun tidak setiap orang menyadari kepentingan ini, sebagai bagian terpenting khazanah pemikirannya. Termasuk seorang muslim, dimana perannya yang multi peran mengharuskannya agar selalu berada di garis depan dalam mengantisipasi berbagai permasalahan.
Hati dan Tazkiyah
Hati menempati posisi yang sangat strategis dalam kehidupan manusia. Rasulullah, shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lebih jauh mengatakan:“Istafti qalbaka” mintalah fatwa (nasehat dan saran putusan) kepada hatimu. Sementara Steven R. Covey menulis bahwa suara hati adalah salah satu dari empat anugerah Pencipta yang terbesar di samping kesadaran diri, kehendak bebas dan imajinasi kreatif.

Nampaknya paradigma (cara pandang) inilah yang mewarnai sebahagian besar taujih (arahan) dan irsyad (bimbingan) beliau yang agung. “Allahumma thahhir qalbahu wa hashshin farjahu” (Ya Allah, bersihkanlah hatinya dan peliharalah kemaluannya) adalah do’a beliau untuk permintaan sang pemuda yang meminta izin berzinah kepadanya. Setelah berlangsung dialog antara beliau dengan sang pemuda itu yang berakhir dengan kepuasan jiwanya atas bimbingan Rasulullah, shallaahu ‘alaihi wa sallam, yang demikian bijak.

Tazkiyah berarti membersihkan atau purification (purifikasi). Dalam psikologi dengan mudah tazkiyyah dapat dijadikan ukuran untuk perkembangan personality (kepribadian). Konsep-konsep Al-Quran mengenai kejiwaan, an-nafs al-amarah, an-nafs al-lawwamah, an-nafs al-mutma'innah, selain menjadi konsep ilmu tasawuf, dengan mudah dapat diturunkan menjadi konsep teoretis ilmu jiwa untuk mengukur kematangan seseorang. (paradigma Islam, Dr. Kuntowidjoyo, halaman 308).

Melihat betapa penting dan berartinya proses tazkiyah, maka sangatlah dipahami jika tazkiyah merupakan salah satu fungsi dan tugas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana tersurat secara eksplisit dalam surah dan ayat diatas.

Hati dan Kecerdasan
Selepas SLTA atau perguruan tinggi dan ketika mulai meniti karier di perusahaan-perusahaan swasta atau instans-instansi pemerintahan sebagai seorang profesional, kita banyak dikejutkan oleh teman-teman lama yang kini menyeruak kepermukaan jenjang kesuksesan, padahal; ketika di SLTA atau perguruan tinggi prestasi akademik mereka biasa-biasa saja bahkan ada yang di bawah kita. Tak pernah diduga bahwa si Yanto, (bukan nama sebenarnya), yang sewaktu di SMA termasuk basket mania, sehingga punya nilai paspasan kini menjadi seorang presenter di sebuah stasiun televisi swasta. Sementara si juara umum memiliki prestasi karier yang biasa-biasa saja. Faktor apa yang menyebabkan hal ini terjadi?

Menurut Daniel Goleman, Doktor lulusan Universitas Harvard, penulis buku Emotional Intelligence (1995), jawabannya terletak pada kemampuan mengendalikan diri, semangat, ketekunan, dan kemampuan memotivasi diri. ltulah inti dari Emotional Intelligence atau Emotional Quotient (EQ) yang kadang disebut juga kecerdasan sosial(Social Intelligence). Atau kecerdasan rohani, spiritual dan hati nurani.

Istilah yaqin, 'ainul yaqin, dan haqqul yaqin merupakan hasil pencerapan dari hati dan kepala. Yaqin adalah tingkat pembenaran hasil olahan otak terhadap berbagai informasi yang diterima dari luar; 'ainul yaqin adalah tingkat pembenaran oleh "kepala" berdasarkan fakta yang dilihat oleh "mata kepala" sendiri; sementara haqqul yaqin adalah tingkat pembenaran hasil check and recheck yang diamini oleh hati. Namun demikian, pikiran emosional dan rasional merupakan kemampuan-kemampuan yang semimandiri, masing-masing mencerminkan kerja jaringan sirkuit yang berbeda, namun saling terkait di dalam otak. (KAJIAN UTAMA ISHLAH, EDISI 77 TAHUN IV, 1997 halaman 8-11).

Jiwa, Iman dan Dzikrullah, Tiga unsur proses Tazkiah:
Pada hakikatnya, setiap jiwa seringkali mengarahkan kepada perbuatan irrasional, akibat dominasi pikiran emosional yang buruk terhadap pikiran rasional. Namun, orang yang beriman, selalu mewarnai jiwanya dengan cucuran rahmat dan Allah swt. dengan cara ber-dzikr tanpa henti. Dengan cara demikian, jiwa yang buruk (an-nafsul ammaratun bis suu') akan berubah menjadi jiwa yang kritis (an-nafsul lawwaamah, jiwa yang selalu mencela dan mengkritik manakala berbuat salah atau tertinggal bebuat baik) dan an-nafsul muthma'innah, yaitu jiwa yang senantiasa memotivasi diri agar melakukan pekerjaan-pekerjaan baik. Pada akhirnya, an-nafsul muthma'innah (pikiran emosional yang telah dirahmati Allah) senantiasa akan bekerja searah dan saling mendukung dengan pikiran rasional (otak).

Di sinilah rahasia mengapa Allah swt. memerintahkan setiap mu'min agar selalu memperkuat tali hubungan dengan Allah (QS Ali lmran: 101). Karena kita seringkali kurang atau tidak mempunyai kendali atas kapan kita dilanda nafsul amaratun bis suu' (nafsu amarah). Ilustrasi sederhana tentang orang yang dikuasai nafsu amarah dibanding dengan orang yang telah mampu mengendalikan hawa nafsunya (an-nafsul muthma'innah) adalah sebagai berikut. Seseorang sedang mengemudi di jalan tol dengan santai. Tiba-tiba pengemudi mobil lain dengan sembrono nyaris menyerempet mobil orang tersebut.

Bila pikiran orang tersebut lepas dari kendali dzikir, sehingga memicu munculnya nafsu amarah, maka bisa diduga orang itu akan mengumpat, "Sialan! Dia hampir saja menabrakku! Aku tak akan membiarkannya begitu saja!" Serta-merta ruas-ruas jari yang menggenggam kemudi mengencang, seakan-akan sedang mencekik leher orang yang baru menyalipnya. Jantung berdegup kencang dan otot-otot di wajah tersetel untuk menampilkan raut wajah bersungut-sungut.

Namun, bila orang tersebut senantiasa menghubungkan pikiran dan hatinya (rasio dan emosinya) dengan Allah (dzikir), maka orang itu akan berprasangka baik (husnuzh- zhan) terhadap si pengemudi yang menyalipnya. "Barangkali ia tidak melihatku, atau ia punya alasan kuat mengapa mengemudi begitu ngawur, siapa tahu ada keadaan darurat medis. Atau dia tengah menghadapi krisis waktu, sehingga ia mengemudi tergesa-gesa." Sikap husnuzhzhan akan mampu menundukkan amarah kemudian menggantinya dengan sikap kasihan. Tentang hal ini, Benyamin Franklin berkata: "Nafsu amarah itu muncul tak pernah tanpa alasan, tapi amat sedikit yang alasannya benar." (KAJIAN UTAMA ISHLAH, EDISI 77 TAHUN IV, 1997 halaman 8-11).

Kiat membersihkan Hati Nurani:
Inilah beberapa masalah penting yang berkaitan dengan hati serta kiat membersihkannya:
1.Tidak ada siksaan yang lebih besar yang ditimpakan kepada seorang hamba selain hati yang keras dan jauh dari Allah
2.Neraka diciptakan untuk mencairkan hati yang keras.
3.Hati yang paling jauh dengan Allah ialah hati yang keras.
4.Jika hati menjadi keras, maka mata pun menjadi liar.
5.Kekerasan hati bersumber dari empat perkara, yaitu selagi dilakukan hingga melebihi kebutuhan: Makan, tidur, berkata dan bergaul.
6.Selagi badan sakit, maka tak ada manfaatnya makanan dan minuman. Begitu pula hati yang sakit karena syahwat, maka tidak ada gunanya nasihat dan peringatan.
7.Siapa yang menginginkan agar hatinya bersih, maka hendaklah dia lebih mementingkan Allah daripada syahwatnya.
8.Hati yang berkait dengan syahwat akan terhalang dari Allah, tergantung dari seberapa jauh keterkaitannya itu.
9.Hati adalah bejana Allah di dunia. Andaikan manusia mengisinya dengan Allah dan hari akhirat, maka hati itu pun menjadi bening dengan makna-makna kalam Allah dan ayat-ayatNya, lalu pemiliknya akan mendapatkan hikmah yang mengagumkan.
10.Jika hati disuapi dengan dzikir, diairi dengan tafakkur dan dibersihkan dari noda, pemiliknya tentu akan melihat berbagai macam keajaiban dan dia diberi ilham hikmah.
11.Tidak setiap orang yang tampak memiliki ma'rifah dan hikmah adalah orang yang benar-benar memilikinya. Tapi orang yang memiliki ma'rifah dan hikmah adalah orang yang menghidupkan hatinya dengan cara membunuh hawa nafsu. Sedangkan orang yang membunuh hatinya dan menghidupkan hawa nafsu, maka ma'rifah dan hikmah akan menghindar dari lidahnya.
12.Kehancuran hati karena merasa aman dan lalai, sedangkan kemakmurannya karena rasa takut dan dzikir.
13.Jika hati menghindari hidangan dunia, maka ia akan duduk di hadapan hidangan akhirat bersama orang-orang yang menyeru kepada akhirat. Jika hati ridha terhadap hidangan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan hidangan akhirat.
14.Kerinduan kepada Allah dan bersua dengan-Nya merupakan angin sepoi-sepoi yang berhembus di dalam hati, menjadikan dunia bersinar terang.
15.Siapa yang meletakkan hatinya di sisi Allah, maka dia akan merasa tenang, dan siapa yang melepaskan hatinya di tengah manusia, maka dia akan gundah gulana.
16.Cinta kepada Allah tidak akan masuk ke dalam hati yang mencintai dunia, kecuali seperti masuknya onta ke lubang jarum.
17.Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan mengatur jiwanya, membuat hamba itu mencintai-Nya dan memurnikan ibadahnya, sehingga dia menyibukkan diri bagi Allah, menyibukkan lidahnya dengan dzikir dan menyibukkan anggota tubuhnya untuk pengabdian kepada-Nya.
18.Hati bisa sakit sebagaimana badan yang juga bisa sakit. Penawar sakit hati adalah taubat dan menjaganya. Hati bisa suram sebagaimana cermin yang juga bisa suram. Untuk membersihkannya ialah dengan dzikir. Hati bisa telanjang sebagaimana badan yang juga bisa telanjang. Hiasannya adalah takwa. Hati bisa lapar dan dahaga seperti halnya badan. Adapun makanan dan minuman hati adalah ma'rifah, cinta, tawakal dan pasrah kepada Allah. (Diadaptasi dari “Mendulang Faidah dari Lautan Ilmu, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, halaman 169-170).

No comments: