Tuesday, May 22, 2007

Puasa & Perilaku

SHAUM DAN PERUBAHAN PERILAKU
DALAM NAUNGAN AL-QUR-AN
Suatu pendekatan Ruhiyyah (Spiritual -Emosional) dan Fikriyyah (Intelektual)
Disadur dari Fii Dzilaali al-Qurán karya Al-Imam Sayyid Quthb



Shaum merupakan sarana memantapkan:
irodah qawiyyah hazimah (keinginan kuat dan bulat);
ittishol (hubungan) manusia dengan Ar-Rabb dalam nuansa keterikatan tha'ah dan inqiyad (patuh dan nurut),
sarana isti’la (mengatasi) tuntutan-tuntutan seluruh tubuh,
ihtimal (menanggung) tekanan dan bebannya, dan
itsar (mementingkan) keridloan hati dan kesenangan di sisi Allah.

Semua adalah unsur-unsur keharusan dalam i'dadun nafsi (penyiapan jiwa) untuk mengemban beban kendala perjalanan yang dihampari berbagai hambatan dan duri, di sisi-sisinya tercecer hasrat dan syahawat serta ribuan pemikat membisiki para penjelajahnya. Di samping itu, sepanjang perputaran waktu masih banyak sejumlah peninggalan faidah dalam fungsi tubuh yang baru terungkap. Namun, saya tidak tertarik untuk mengomentari faridloh (kewajiban dan titah Allah) dan taujihat (instruksi- instruksi) ilahiyyah -khususnya- dalam masalah ibadah dengan faidah-faidah inderawi yang tampak di depan mata, karena hikmah ashilah (hikmah mendasar dan essensial) dalam 'ibadah adalah "menyiapkan eksistensi manusia untuk peranannya di bumi dan mempersiapkannya demi kesempurnaan yang ditentukan baginya dalam kehidupan akhirat".

Walaupun demikian saya tidak bermaksud menafikan catatan dan sains yang mengungkap berbagai manfaat dari kewajiban dan instruksi ini, mengingat mafhum (pemhaman) adalah bagian dari tadbiir ilahi (pengaturan Allah) untuk keberadaan manusia secara keseluruhan dalam setiap yang dititahkan dan diinstruksikanNya, tanpa mengomentari hikmah taklif ilahi (titah Allah) dengan hal-hal yang ditemukan manusia, karena medan ilmu tersebut sangat terbatas, tidak memadai untuk menjangkau hikmah Allah dalam setiap yang ditetapkan-Nya baik bagi eksistensi manusia atau al-Kaun (alam semesta).

"Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu shiam, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu; mudah-mudahan kamu bertaqwa. (Shiam itu) beberapa hari yang tertentu (29 atu 30). Barangsiapa yang sakit di antara kamu atau dalam perjalanan, maka shiamlah pada hari yang lain. Dan bagi orang-orang yang kuat shaum, tetapi amat berat melakukannya, (wajib) membayar fidyah, (dengan memberi) makan seorang miskin. Barangsiapa mengerjakan sukarela (sunnat), maka itu amat baik baginya. Dan shaum itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Shiam itu) pada bulan Ramadlan yang diturunkan al-Qur- an pada bulan itu untuk petunjuk bagi manusia dan beberapa keterangan dari petunjuk dan membedakan antara yang haq dengan yang bathil,. Barangsiapa yang hadir di antara kamu di bulan itu hendaklah ia shaum. Darangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka shaumlah pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tiada menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu sempurnakan bilangan bulan itu dan hendaklah kamu besarkan Allah, karena petunjuk-Nya kepadamu; dan mudah- mudahan kamu bersyukur kepada-Nya." (QS. 2; 183-185).

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui bahwa taklif (ketentuan dan titah) adalah perkara di mana manusia membutuhkan pertolongan, dorongan dan sentuhan untuk meyadari dan memenuhinya. Bagaimanapun hikmah dan manfaatnya, sehingga ia merasa puas dan segar karenanya. Oleh sebab itu, Allah mengawali titah ini dengan panggilan kecintaan kepada orang-orang beriman dengan menyebut esensi hakikat mereka, -sesudah memanggilnya dengan panggilan (kehormatan) ini- Dia menetapkan bahwa shaum adalah kewajiban terdahulu atas orang-orang beriman kepada Allah di setiap din, ghayah (puncak tujuan) awalnya adalah
i'dadu qulubihim (menyiapkan hati mereka) untuk taqwa,
syafafiah (kebeningan),
hasasiah (sensitifitas dan kepekaan) dan
khasyyah (rasa takut) kepada Allah.

"Hai orang-orang beriman telah diwajibkan kepadamu shiam seperti telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, mudah- mudahan kamu bertaqwa."

Demikianlah, ghayah (Tujuan akhir) yang besar ini muncul dari shaum, yaitu taqwa. Taqwa adalah yang bangkit dalam hati saat ia menunaikan kewajiban ini karena tha'ah kepada Allah dan mendahulukan ridlo-Nya. Taqwalah yang menjaga hati ini dari pengrusakan shaum oleh kema'shiatan. Orang-orang yang diajak bicara dengan al-Qur-an ini mengetahui kedudukan taqwa di sisi Allah dan timbangan dalam neraca-Nya, itulah ghayah yang selalu dipantau ruh mereka, dan shaum adalah salah satu sarana dan jalan untuk menujunya di hadapan mata mereka, dari sanalah ungkapan ini mengangkat ruhnya ke suatu tujuan bersinar yang mereka gapai lewat jalan shiam
"mudah-mudahan kamu bertaqwa ( لعلكم تتقـون )."

Untuk kedua kalinya Allah menetapkan bahwa shaum hanyalah hari-hari tertentu saja, bukan kewajiban seumur hidup dan titah sepanjang masa, demikian pula orang-orang yang menderita penyakit dimaafkan (tidak) menunaikannya sampai sembuh, dan yang dalam suatu perjalanan sampai kembali ke negrinya, sebagai realisasi dan kemudahan:

"(Shaum itu) beberapa hari tertentu, Barangsiapa yang sakit di antara kamu atau dalam perjalanan, maka shaumlah pada hari-hari yang lain..."

Zhahir nash (teks) mengenai maradl (penyakit) dan safar (perjalanan) ini dilepaskan (muthlaq) dan tidak dibatasi. Penyakit dan perjalan apa saja membolehkan seseorang berbuka, dan si sakit mengqodlo ketika sembuh dan yang dalam perjalanan ketika kembali. Inilah yang diprioritaskan dalam memahami nash qur-ani yang muthlaq ini, dan ini yang lebih mendekati mafhum islami tentang rof'ul haraj (menghapus kesulitan) dan man'udl Dloror (mencegah bahaya), bukan syiddatul Maradl (keparahan penyakit) dan masyaqqatus Safar (lelah dan capenya perjalanan) yang mengikat (kemuthlakan) hukum, melainkan (hakikat) penyakit dan perjalanan itu secara muthlaq, karena masih banyak rahasia-rahasia lain yang diketahui Allah sementara tidak diketahui manusia dalam penyakit dan perjalanan ini; bahkan terkadang ada masyaqqat (kesulitan) lain yang luput dari perhatian kita dan kemampuan manusia...

Selama Allah tidak mengungkap 'illah (alasan) hukum, maka kita tidak mena'wilkannya, tapi kita taati nash-nash tersebut walaupun hikmahnya tersembunyi, mengingat di balik (hukum) itu ada sejumlah penggalan hikmah, dan bukan keharusan kita mengetahuinya. Pendapat (berikut) ini mengkhawatirkan; kaum pencari dispensasi (rukhshah) menggunakannya untuk keringanan secara gegabah dan diabaikannya 'ibadah-'ibadah yang wajib hanya karena alasan picik, sehingga membuat kalangan fuqaha ekstra keras dalam sikap dan membuat persyaratan. Namun -menurut keyakinan saya- tidak dibenarkan taqyid (mengikat) suatu masalah yang telah dimuthlakan oleh nash, karena ad-Din tidak menuntun manusia kepada ketha'atan dengan rantai melainkan dengan ketaqwaan.

Secara spesifik ghayah dari 'ibadah ini adalah taqwa, dan sejak awal seseorang yang luput melaksanakan kewajiban di bawah tirai dispensasi (rukhshah) tidak ada kebaikan untuknya, karena ghoyah pertama penunaian kewajiban ini tidak terealisir. Din ini adalah din Allah bukan din manusia, Allah Maha mengetahui keterpaduan din ini; antara pos-pos keringanan (rukhshah) dan pos-pos keketatan; terkadang di balik rukhshah terdapat satu pos kemashlahatan yang hanya terealisir dengan rukhshah tersebut, bahkan masalahnya harus demikian, oleh karena itu RasuluLlah Shallallahu 'alai wa sallam memerintahkan agar kaum muslimin mengambil rukhshah-rukhshah Allah yang telah diringankan-Nya.

Apabila terjadi kerusakan manusia, maka pembenahan mereka bukan lewat sikap keras dalam hukum akan tetapi lewat pembenahan
tarbiyatul qulub (pendidikan hati) dan
ihya-ut Taqwa fi arwahihim (menghidupkan kembali ruh ketaqwaan dalam ruh mereka).
Jika sikap keras dalam hukum mu'amalah (hubungan dan pergaulan antar manusia) sebagai 'ilaj (pengobatan) prepentif dan saddudz Dzari'ah (tindakan tolak bahaya) di saat rusaknya manusia dapat dibenarkan, lain halnya dalam masalah syi'ar 'ibadah, karena itu merupakan perhitungan antara seorang hamba dan Rabb yang tidak terkait langsung dengan kepentingan-kepentingan manusia sebagaimana hukum-hukum mu'amalat yang harus memperhatikan zhahirnya, sedangkan kezhahiran dalam 'ibadah tidak dapat dipetik selama tidak dibangun di atas ketaqwaan hati.

Apabila ketaqwaan ditumbuhkan, maka seseorang tidak akan menoleh dan tidak akan menggunakan rukhshah kecuali di saat hatinya ridlo dan melihatnya sebagai yang utama, serta merasakan bahwa tha'at kepada Allah dalam kondisi yang tengah dihadapinya terdapat pada pengambilan rukhshah tersebut. Adapun sikap berlebihan dalam hukum 'ibadah atau kecenderungan untuk menyempitkan kemuthlakan rukhshah yang telah dibuat muthlaq oleh nash-nash, secara keseluruhan terkadang mengesankan haraj (kesulitan dan sesak dada) bagi sebahagian yang merasakan keberatan, disaat yang tak banyak manfaat untuk meluruskan kaum pencari rukhshah secara gegabah.

Apapun kondisinya, yang prioritas adalah kita mengambil perkara dengan gambaran yang dikehendaki Allah dalam din ini, karena Dia Maha Pasti dan Maha Tahu akan segala kemashlahatan yang ada di belakang rukhshah dan 'azimah (asal hukum semula) baik dekat maupun jauh. Tetapi, pegangan akhir dalam masalah shaum di perjalanan adalah sunnah untuk berbuka tanpa terikat dengan perolehan masyaqqah (rasa sulit dan lelah) akibat melakukan shaum. Ada pun mengenai penyakit, saya tidak menemukan apa-apa selain pendapat para fuqaha, yang jelas hal itu muthlaq dalam setiap kategori penyakit tanpa ada pembatasan dalam jenis, kadar dan kekhawatiran akan semakin parahnya, disertai kewajiban qodlo setiap hari demi hari dalam masalah penyakit dan perjalanan, tanpa keharusan terus menerus menurut pendapat yang terunggul di hari-hari qlodo ( di luar bulan Ramadlon).

Saya memaparkan hal ini bukan untuk melibatkan diri dalam perselisihan fiqhiyyah, tetapi hanya untuk memastikan suatu qa'idah (landasan) dalam memandang syi'ar-syi'ar ibadah dan keterkaitannya yang erat kuat dengan pembinaan suatu kondisi perasaan yang merupakan ghoyah yang perlu diprioritaskan. Kondisi inilah yang memandu suluk (prilaku) seseorang yang beribadah, inilah sandaran pertama tarbiyah jiwanya, dan kebaikan menunaikan 'ibadah serta prilakunya dalam kehidupan. Ini di satu sisi,di sisi lain,
hendaknya kita mengambil din ini -seperti yang dikehendaki Allah- dengan seluruh ketentuannya atas dasar tha'ah dan taqwa, dan
mengambil secara integral baik 'azimah maupun rukhshahnya dengan keterpaduan dan penataan yang rapi, dalam susunan thuma-ninah (ketenangan) kepada Allah, yaqin akan hikmah-Nya, dan merasakan ketaqwaan kepada-Nya.

Selanjutnya kita kembali menyempurnakan perjalanan (ayat ini): "...Dan bagi orang-orang yang kuasa bershaum, tetapi amat berat melakukannya, (wajib) memberikan fidyah, (dengan memberi) makan seorang miskin. Barangsiapa mengerjakan sunnat, maka itu amat baik baginya. Dan shaum itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui."

Semula ketetapan shaum cukup membebani kaum muslimin -ia diwajibkan pada tahun ke dua hijriyyah sesaat sebelum kewajiban jihad-, lalu Allah membuat rukhshah bagi orang yang mampu shaum dengan susah payah, itulah yang ditunjuk yuthiiquunahu, al-Ithaaqah berarti menanggung dengan sangat payah, Allah jadikan rukhshah ini yaitu berbuka disertai dengan memberi makan ke pada si miskin. Kemudian Allah mentahbib (merangsang agar cinta) sukarela (tathawwu' atau sunnah) dengan memberi makan kaum miskin secara total, baik sukarela tanpa fidyah (tebusan) atau dengan melebihi batas fidyah seperti memberi makan kepada dua, tiga orang atau lebih setiap hari berbuka di bulan Ramadlon. "Barangsiapa mengerjakan sunnat, maka itu amat baik baginya."

Berikutnya Allah mentahbib (merangsang) untuk memilih shaum walaupun masyaqqah (berat dan sulit bagi siapa saja) selain dalam perjalanan dan menderita penyakit. "Dan shaum itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." Karena dalam kondisi seperti ini shaum memiliki nilai amat baik. Nampak bagi kita unsur
tarbiyatul irodah (mendidik hasrat dan keinginan),
taqwiyatul ihtimal (memperkuat daya pikul) dan
itsar (mendahulukan) 'ibadah kepada Allah dari pada bersantai-santai.
Semua ini dituntut dalam proses tarbiyah islamiyyah, sebagaimana nampaknya sejumlah keistimewaan medikal bagi kita dalam shaum -bagi selain penderita penyakit- walaupun yang shaum ini menderita kepayahan. Maka sudah seharusnya bersyukur kepada Allah atas ni'mat al-Qur-an ini dengan istijabah (menunaikan) shaum bulan yang dutunkan di dalamnya al-Qur-an.

"(Shaum itu) pada bulan Ramadlon yang diturunkan al-Qur- an pada bulan itu untuk petunjuk bagi manusia dan beberapa keterangan dari petunjuk dan membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Barangsiapa yang hadir di anatra kamu di bulan itu maka hendaklah ia shaum..."

Ini adalah ayat yang menasakh (menghapus) rukhshah berbuka dan fidyah bagi yang sehat dan muqim (tidak dalam perjalanan) selain orang tua jompo baik laki maupun wanita. Sebagaimana yang telah kita lewati; "Barangsiapa yang hadir di antara kamu di bulan itu maka hendaklah ia shaum..." Maksudnya, siapa saja diantara kamu yang hadir di bulan itu selain musafir (orang yang dalam perjalanan), atau melihat di antaramu hilal (bulan sabit) bulan ini dan yang yakin menyaksikan hilal dengan sarana lain apapun adalah seperti yang menyaksikannya dalam hal kewajiban shaum sejumlah hari dalam Ramadlon. Ketika ini merupakan nash yang bersifat umun, maka kembali untuk mengecualikan orang sakit dan orang dalam perjalanan: "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka shaumlah pada hari yang lain..."

Tahbib (rangsangan) yang ke tiga; adalah mengenai pelaksanaan kewajiban ini dan penjelasan rahmat Allah dalam taklif dan rukhshah secara bersamaan: "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tiada menghendaki kesukaran." Ini adalah qa'idah terbesar dalam ketentuan-ketentuan aqidah secara keseluruhan, semua dimudahkan tanpa kesukaran, itu diwahyukan untuk hati yang meni'matinya dengan kemudahan dalam mengambil seluruh kehidupan. Jiwa seorang muslim dicetak dengan watak khusus yaitu samahah (kemudahan dan toleransi) tanpa mempersulit diri (takalluf) dan tanpa komplikasi (ta'qid). Samahah yang menyertai penunaian setiap titah, kewajiban dan aktifitas kehidupan yang serius, laksana tempat saluran air mengalir dan tumbuhnya pohon menjulang dalam thuma’ninah (ketenangan), tsiqah (kepercayaan penuh) dan ridlo (kerelaan hati) disertai nuansa perasaan yang kontinyu akan rahmat Allah dan kehendak-Nya kepada kemudahan bukan kesukaran begi hamba-hamba-Nya yang mu-min.

Allah menjadikan shaum di hari-hari lain bagi si musafir dan penderita penyakit agar yang mudlthorr (dalam emergensi ini) berkesempatan menyempurnakan jumlah hari bulan ini sehingga ia tidak kehilangan pahalanya. "Hendaklah kamu sempurnakan bilangan bulan itu." Atas dasar ini shaum merupakan keni'matan yang berhak mendapat takbir (membesarkan) dan syukr (terima kasih kepada Allah: "... dan hendaklah kamu besarkan Allah, karena petunjuk- Nya kepadamu; dan mudah-mudahan kamu berterima kasih kepada- Nya."

Ini adalah salah satu ghoyah suatu kewajiban, agar orang-orang beriman merasakan nilai hudan (petunjuk) yang dimudahkan Allah, mereka menemukan semua ini dalam dirinya di saat shaum secara lebih banyak dari pada di saat-saat lain. Mereka terjaga hatinya dari pikiran kema'shiatan, dan terpelihara anggota tubuhnya dari perbuatan tersebut. Mereka merasakan hudan itu dalam keadaan tersentuh dan dapat diraba, agar mereka bertakbir kepada Allah atas petunjuk ini, bersukur kepada-Nya atas ni'mat ini, dan hatinya kembali ke hadlirat-Nya dengan tha'ah ini, seperti yang Dia firmankan dalam pembahasan shiam; "mudah-mudahan kamu bertaqwa."

Demikianlah anugerah (minnah) Allah tampak dalam titah ini yang tampil terkesan berat bagi tubuh dan jiwa, ghoyah tarbawiyyah (tujuan akhir edukatif) tampak transparan, di baliknya terdapat suatu penyiapan peranan agung di mana ummat ini telah dikeluarkan untuk memerankannya , dengan pelaksanaan yang dikawal ketaqwaan, muroqobatullah (pengawasan Allah) dan hasasiyyah (sensitifitas dan kepekaan) jiwa.

Sebelum rangkaian penjelasan hukum secara rinci tentang waktu-waktu shaum, batas makan minum dan imsak (menahan atau mulai berpuasa) berlanjut... kita menemukan suatu lirikan ke lubuk jiwa dan rahasia hati yang cukup mengagumkan. Kita menemukan suatu penggantian yang sempurna, dicintai dan disenangi dari lelahnya shaum, dan balasan yang segera atas istijaabah (memenuhi panggilan dan seruan) Allah. Kita menemukan ganti dan balasan itu dalam qurb minallah (dekatnya diri kepada Allah), dan pengabulan Dia bagi do'a kita... yang digambarkan oleh kata-kata lembut dan bening hampir bersinar:

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS. 2;186).

Sumber: “Fii Dzilaali al-Qur’an”, halaman 156-157

No comments: